Pages

Subscribe:

Selasa, 12 Mei 2015

KECERDASAN EMOSIONAL/EMOTIONAL INTELLIGENT (EI)


KECERDASAN EMOSIONAL/EMOTIONAL INTELLIGENT (EI)
MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Psikologi Pendidikan

Dosen pengampu
 Drs. M. Irfan Burhani, M.Psi.
Disusun oleh:
NAMA   : Qurun Azizah           
NIM       : 932507612


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KEDIRI
2013
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Dulu, semua orang beranggapan bahwa anak yang cerdas adalah mereka yang memiliki IQ tinggi. Namun kenyataannya, angka IQ yang tinggi bukanlah jaminan bagi kesuksesan mereka di masa depan kelak. Sering ditemukan dalam proses belajar mengajar di sekolah, siswa yang tidak dapat meraih prestasi belajar yang setara dengan kemampuan inteligensinya. Ada siswa yang mempunyai kemampuan inteligensi tinggi, tetapi memperoleh prestasi belajar yang relatif rendah. Tetapi, ada siswa yang walaupun kemampuan inteligensinya relatif rendah, ia bisa meraih prestasi belajar yang relatif tinggi. Itu sebabnya, taraf inteligensi bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan seseorang.  Ada faktor lain yang tidak kalah pentingnya, yaitu kecerdasan emosional (EQ).[1]
Peserta didik yang memiliki tingkat kecerdasan emosional (EQ) yang lebih baik, cenderung dapat menjadi lebih terampil dalam menenangkan dirinya dengan cepat, jarang tertular penyakit, lebih terampil dalam memusatkan perhatian, lebih baik dalam berhubungan dengan orang lain, lebih cakap dalam memahami orang lain, dan untuk kerja akademis di sekolah lebih baik.[2] Sehingga dia akan mampu menyeleseikan seluruh beban akademisnya tanpa stress yang berlebihan. Lebih lanjut, Kecerdasan emosional juga  menjadikan anak memiliki kemampuan untuk memotivasi diri sendiri serta tetap bersemangat untuk menghadapi berbagai kesulitan yang mungkin dihadapinya.[3]
Menurut Goleman, kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20% bagi kesuksesan, sedangkan 80% adalah sumbangan faktor-faktor kekuatan lain di antaranya adalah kecerdasan emosional (EQ). Dalam proses belajar siswa, kedua inteligensi itu sangat diperlukan. IQ tidak dapat berfungsi dengan baik tanpa partisipasi penghayatan emosional terhadap mata pelajaran yang disampaikan di sekolah. Keseimbangan antara IQ dan EQ merupakan kunci keberhasilan belajar siswa di sekolah.[4]
Melihat pentingnya kecerdasan emosional bagi peserta didik seperti yang sudah dikemukakan dalam paparan di atas, maka penulis tertarik untuk memilih tema Emotional Intelligence (EI) untuk dibahas dalam makalah ini.

B.     Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang ingin dibahas dalam makalah ini adalah:
1.      Apa pengertian kecerdasan emosional/Emotional Intelligence (EI)?
2.      Bagaimana sejarah dan konseptualisasi dari kecerdasan emosional?
3.      Bagaimana ciri-ciri kecerdasan emosional?
4.      Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional?
5.      Bagaimana manfaat pendidikan keterampilan emosional?
6.      Bagaimana cara melatih kecerdasan emosional pada anak?











BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Kecerdasan Emosional
Emosi adalah perasaan tertentu yang bergejolak dan dialami seseorang serta berpengaruh pada kehidupan manusia. Emosi memang sering dikonotasikan sebagai sesuatu yang negatif. Bahkan, pada beberapa budaya emosi dikaitkan dengan sifat marah seseorang. Menurut Aisah Indiati (2006), sebenarnya terdapat banyak macam ragam emosi, antara lain sedih, takut, kecewa, dan sebagainya yang semuanya berkonotasi negatif. Emosi lain seperti senang, puas, gembira, dan lain-lain, semuanya berkonotasi positif.[5]
Menurut Gardner, akar kata emosi adalah movere, kata kerja Bahasa Latin yang berarti “menggerakkan, bergerak”, ditambah awalan “e-” untuk memberi arti “bergerak menjauh”, menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Sehingga dikatakan bahwa emosi adalah akar dorongan untuk bertindak.[6]
Sedangkan pengertian kecerdasan emosional mencakup kemampuan-kemampuan mengatur keadaan emosional diri sendiri dan memahami emosi orang lain. Menurut para ahli, kecerdasan emosional didefinisikan sebagai berikut:
1.      Salovey dan Mayer (1990) mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai:“suatu jenis kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial pada diri sendiri dan orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan.”[7]
2.      Menurut Goleman, kecerdasan emosional adalah “kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan intelegensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.”[8]
3.      Bar-On pada tahun 1992 seorang ahli psikologi Israel, mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan (Goleman, 2000: 180).[9]
4.      Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga, kecerdasan emosional adalah “kecerdasan yang berkenaan dengan hati dan kepedulian antar sesama manusia, makhluk lain dan alam sekitar.” (Pusat Bahasa Depdiknas, 2007:209).[10]
5.      Cooper dan Sawaf (1998) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi.[11]
6.      Menurut Harmoko (2005), kecerdasan emosi dapat diartikan kemampuan untuk mengenali, mengelola, dan mengekspresikan dengan tepat, termasuk untuk memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, serta membina hubungan dengan orang lain.[12]
7.      Menurut Dwi Sunar P. (2010), kecerdasan emosional adalah “kemampuan seseorang untuk menerima, menilai, mengelola, serta mengontrol emosi dirinya dan orang lain disekitarnya.”[13]


Berdasarkan definisi para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain.

B.     SEJARAH DAN KONSEPTUALISASI KECERDASAN EMOSIONAL
Teori mengenai kecerdasan emosional pertama kali dicetuskan oleh Salovey dan Mayer tahun 1990. Mereka (Solovey dan Mayer) mendefinisikan EQ (emotional quotient) sebagai “kemampuan untuk memahami perasaan diri sendiri, untuk berempati terhadap perasaan orang lain dan untuk mengatur emosi, yang secara bersama berperan dalam peningkatan taraf hidup seseorang”.
Sebelumnya, istilah kecerdasan emosi berasal dari konsep kecerdasan sosial yang dikemukakan oleh Thorndike pada tahun 1920 dengan membagi 3 bidang kecerdasan yaitu kecerdasan abstrak (seperti kemampuan memahami dan memanipulasi simbol verbal dan matematika), kecerdasan konkrit seperti kemampuan memahami dan memanipulasi objek, dan kecerdasan sosial seperti kemampuan untuk memahami dan berhubungan dengan orang lain.[14]
Sampai sekarang, konsep teoritis masih kurang (Young, 1996). Namun, dengan konseptual mengintegrasikan penelitian yang ada, peran kecerdasan emosi dalam psikologi dapat lebih mudah dilihat. Salovey Mayer berpendapat bahwa emotional intelligence berhubungan dengan kecerdasan interpersonal dan intrapersonal, sebagaimana diusulkan oleh Howard Gardner (1983).[15]
Salovey menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya, seraya memperluas kemampuan ini menjadi lima wilayah utama: mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati), dan membina hubungan dengan orang lain. [16]
Orang yang cerdas secara emosional mampu mengenali, merespon dan mengekspresikan emosi diri sendiri dan orang lain secara lebih baik dan lebih tepat. Mereka cenderung lebih berbakat dalam mengenali reaksi emosional orang lain, sehingga menghasilkan respon empati kepada mereka. Dengan demikian, orang lain akan melihat mereka sebagai sosok yang hangat dan tulus. Sebaliknya orang yang tidak mempunyai kecerdasan emosional sering terlihat sebagai sosok yang tidak sopan atau malu-malu.
Individu dikatakan memiliki emosional yang cerdas apabila mahir mengatur emosi. Proses ini sering digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu, karena dapat menyebabkan munculnya mood adaptif orang lain. Dengan kata lain, mereka yang cerdas secara emosional akan mampu meningkatkan suasana hati diri mereka dan suasana hati orang lain. Akibatnya, mereka mampu memotivasi orang lain untuk mencapai tujuan yang bermanfaat. Namun, kadang-kadang keterampilan ini bersifat antisosial yang digunakan untuk memanipulasi orang lain.
Kecerdasan emosional dapat digunakan dalam pemecahan masalah. Salovey Mayer (1990) menyatakan bahwa individu cenderung berbeda dalam kemampuan untuk mengatur emosi mereka ketika memecahkan masalah. Baik emosi dan suasana hati memiliki pengaruh dalam strategi pemecahan masalah. Mereka sampai pada kesimpulan bahwa suasana hati yang positif memungkinkan fleksibilitas dalam perencanaan masa depan, yang memungkinkan persiapan yang lebih baik untuk memanfaatkan peluang di  masa depan. Secara umum, individu dengan sikap optimistis terhadap kehidupan dengan membangun pengalaman interpersonal akan memperoleh hasil yang lebih baik untuk diri sendiri dan orang-orang di sekitarnya. Sehingga, dapat dikatakan bahwa individu yang cerdas secara emosional pasti memperoleh keuntungan dalam hal pemecahan masalah di kehidupannya.[17]




C.    Ciri-ciri Kecerdasan Emosional
Sampai sekarang belum ada alat ukur yang dapat digunakan untuk mengukur kecerdasan emosi seseorang. Walaupun demikian, ada beberapa ciri-ciri yang mengindikasi seseorang memiliki kecerdasan emosional. Goleman menyatakan bahwa secara umum ciri-ciri seseorang memiliki kecerdasan emosi adalah mampu memotivasi diri sendiri, bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berfikir serta berempati dan berdoa.[18] Lebih lanjut Salovey dalam Goleman (1996) memerinci lagi aspek-aspek kecerdasan emosi secara khusus sebagai berikut:[19]
1.      Mengenali emosi diri, yaitu kesadaran diri—mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi—merupakan dasar kecerdasan emosional. Kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu merupakan hal penting bagi wawasan psikologi dan pemahaman diri. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan kita yang sesungguhnya membuat kita berada dalam kekuasaan perasaan.
2.      Mengelola emosi, yaitu menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan pas adalah kecakapan yang bergantung pada kesadaran diri. Kemampuan mengelola emosi meliputi kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melapaskan kecemasan, kemurungan, atau ketersinggungan. Orang-orang yang buruk kemampuannya dalam keterampilan ini akan terus-menerus bertarung melawan perasaan murung, sementara mereka yang pintar dapat bangkit kembali dengan jauh lebih cepat dari kemerosotan dan kejatuhan dalam kehidupan.
3.      Memotivasi diri sendiri, yaitu menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan. Ini adalah hal yang sangat penting dalam kaitan untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri sendiri dan menguasai diri sendiri, dan untuk berkreasi. Kemampuan ini didasari oleh kemampuan mengendalikan emosi, yaitu menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati. Orang-orang yang memiliki keterampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan.
4.      Mengenali emosi orang lain (empati), yaitu kemampuan yang juga begantung pada kesadaran diri emosional, merupakan “keterampilan bergaul” dasar. Orang yang empatik lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain.
5.      Membina hubungan, yaitu keterampilan mengelola emosi orang lain. Ini merupakan keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan antar pribadi. Orang-orang yang hebat dalam keterampilan ini akan sukses dalam bidang apapun yang mengandalkan pergaulan yang mulus dengan orang lain.
D.    Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat menetap, dapat berubah-ubah setiap saat. Untuk itu peranan lingkungan terutama orang tua pada masa kanak-kanak sangat mempengaruhi dalam pembentukan kecerdasan emosional. Keterampilan EQ bukanlah lawan keterampilan IQ atau keterampilan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun di dunia nyata. Selain itu, EQ tidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan.[20]
Menurut Goleman (1997) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi individu yaitu:[21]
1.      Lingkungan keluarga; kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama dalam mempelajari emosi. Kecerdasan emosi dapat diajarkan pada saat masih bayi melalui ekspresi. Peristiwa emosional yang terjadi pada masa anak-anak akan melekat dan menetap secara permanen hingga dewasa. Kehidupan emosional yang dipupuk dalam keluarga sangat berguna bagi anak kelak dikemudian hari. Pembelajaran emosi bukan hanya melalui hal-hal yang diucapkan dan dilakukan oleh orang tua secara langsung kepada anak-anaknya, melainkan juga melalui contoh-contoh yang mereka berikan sewaktu menangani perasaan mereka sendiri atau perasaan yang biasa muncul antara suami dan istri. Ada orang tua yang berbakat sebagai guru emosi yang sangat baik, ada yang tidak.
2.      Lingkungan non keluarga; hal ini yang terkait adalah lingkungan masyarakat dan pendidikan. Kecerdasan emosi ini berkembang sejalan dengan perkembangan fisik dan mental anak. Pembelajaran ini biasanya ditujukan dalam suatu aktivitas bermain peran sebagai seseorang diluar dirinya dengan emosi yang menyertai keadaan orang lain (Goleman, 1997).
Menurut Le Dove (Goleman, 1997) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi antara lain:[22]
1.      Fisik; bagian yang paling menentukan atau paling berpengaruh terhadap kecerdasan emosi seseorang adalah anatomi saraf emosi yang berada di otak. Bagian otak yang digunakan untuk berfikir yaitu korteks (kadang kadang disebut juga neo korteks) yang berperan penting dalam memahami sesuatu secara mendalam, menganalisis mengapa mengalami perasaan tertentu dan selanjutnya berbuat sesuatu untuk mengatasinya.  Sebagai bagian yang berada dibagian otak yang mengurusi emosi yaitu system limbic yang terutama bertanggung jawab atas pengaturan emosi dan implus. Sistem limbic meliputi hippocampus, tempat berlangsungnya proses pembelajaran emosi dan tempat disimpannya emosi. Selain itu ada amygdala yang dipandang sebagai pusat pengendalian emosi pada otak.
2.      Psikis. Kecerdasan emosi selain dipengaruhi oleh kepribadian individu, juga dapat dipupuk dan diperkuat dalam diri individu.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosi seseorang yaitu secara fisik dan psikis. Secara fisik terletak di bagian otak yaitu konteks dan sistem limbic, secara psikis meliputi lingkungan keluarga dan lingkungan non keluarga.
E.     Manfaat Pendidikan Keterampilan Emosional
Sementara itu, Goleman mengungkapkan keunggulan dari keterampilan emosional:[23]
a.       Kesadaran diri emosional
·         Perbaikan dalam mengenali dan merasakan emosinya sendiri.
·         Lebih mampu memahami penyebab perasaan yang timbul.
·         Mengenali perbedaan perasaan dengan tindakan.
b.      Mengelola emosi
·         Toleransi yang lebih tinggi terhadap frustasi dan pengelolaan amarah.
·         Berkurangnya ejekan verbal, perkelahian, dan gangguan di luar kelas.
·         Lebih mampu mengungkapkan amarah dengan tepat, tanpa berkelahi.
·         Berkurangnya larangan masuk sementara dan skorsing.
·         Berkurangnya perilaku agresif atau merusak diri sendiri.
·         Perasaan yang lebih positif tentang diri sendiri, sekolah, dan keluarga.
·         Lebih baik dalam menangani ketegangan jiwa.
·         Berkurangnya kesepian dan kecemasan dalam perggaulan.
c.       Memanfaatkan emosi secara produktif
·         Lebih bertanggung jawab.
·         Lebih mampu memusatkan perhatian pada tugas yang dikerjakan dan menaruh perhatian.
·         Kurang impulsif, lebih menguasai diri.
·         Nilai pada tes-tes prestasi meningkat.
d.      Empati: membaca emosi
·         Lebih mampu menerima sudut pandang orang lain.
·         Memperbaiki empati dan kepekaan terhadap perasaan orang lain.
·         Lebih baik dalam mendengarkan orang lain.
e.       Membina hubungan
·         Meningkatkan kemampuan menganalisis dan memahami hubungan.
·         Lebih baik dalam menyeleseikan pertikaian dan merundingkan persengketaan.
·         Lebih baik dalam menyeleseikan persoalan yang timbul dalam hubungan.
·         Lebih tegas dan terampil dalam berkomunikasi.
·         Lebih populer dan mudah bergaul; bersahabat dan terlibat dengan teman sebaya.
·         Lebih dibutuhkan oleh teman sebaya.
·         Lebih menaruh perhatian dan bertenggang rasa.
·         Lebih memikirkan kepentingan sosial dan selaras dalam kelompok.
·         Lebih suka berbagi rasa, bekerja sama, dan suka menolong.
·         Lebih demokratis dalam bergaul dengan orang lain.

F.     Cara Melatih Kecerdasan Emosional Anak
Keluarga merupakan hal yang pertama kali diamati ketika anak baru berusia lima tahun, dan sekali lagi diamati saat anak itu sudah mencapai usia sembilan tahun. Oleh karena itu, orang tua dalam hal ini harus menjadi pelatih yang efektif bagi anak untuk meningkatkan kecerdasan emosional anak. Proses tersebut biasanya terjadi dalam lima langkah:
1)      Menyadari emosi anaknya; yaitu orang tua merasakan apa yang dirasakan oleh anak-anak mereka. Agar bisa melakukannya, orang tua harus menyadari emosi-emosi, pertama dalam diri mereka sendiri kemudian dalam diri anak-anak mereka.[24] Orang tua yang awas dapat mengenali isyarat-isyarat malapetaka emosional pada anak-anak mereka, isyarat-isyarat itu muncul dalam tingkah laku seperti makan terlalu banyak, hilangnya nafsu makan, mimpi buruk, dan keluhan pusing-pusing atau sakit perut.
2)      Mengakui emosi itu sebagai peluang untuk kedekatan dan mengajar; yaitu mengakui emosi anak dan menolong mereka mempelajari keterampilan-keterampilan untuk menghibur diri mereka sendiri.[25]
3)      Mendengarkan dengan penuh empati dan meneguhkan perasaan anak tersebut; yaitu mendengarkan dan mengamati petunjuk-petunjuk fisik emosi pada anak. Orang tua menggunakan imajinasi mereka untuk melihat situasi tersebut dari titik pandang anak kemudian menggunakan kata-kata mereka untuk merumuskan kembali dengan cara yang menenangkan dan tidak mengecam untuk menolong anak-anak mereka memberi nama emosi-emosi mereka itu.[26]
4)      Menolong anaknya menemukan kata-kata untuk memberi nama emosi yang sedang dialaminya; langkah ini merupakan langkah yang gampang dan sangat penting dalam pelatihan emosi, misalnya tegang, cemas, sakit hati, marah, sedih dan takut. Menyediakan kata-kata dengan cara ini dapat menolong anak-anak mengubah suatu perasaan yang tidak jelas, menakutkan, dan tidak nyaman menjadi sesuatu yang dapat dirumuskan, sesuatu yang mempunyai batas-batas dan merupakan bagian wajar dari kehidupan sehari-hari. Studi-studi memperlihatkan bahwa tindakan memberi nama emosi itu dapat berefek menentramkan terhadap sistem saraf, dengan membantu anak-anak untuk pulih kembali lebih cepat dari peristiwa-peristiwa yang merisaukan.[27]
5)      Menentukan batas-batas sambil membantu anak memecahkan masalah yang dihadapi; proses ini memiliki beberapa tahap: (1) menentukan batas-batas terhadap tingkah laku yang tidak pada tempatnya, (2) menentukan sasaran, (3) memikirkan pemecahan yang mungkin, (4) mengevaluasi pemecahan yang disarankan berdasarkan nilai-nilai keluarga, dan (5)  menolong anak memilih satu pemecahan.[28]
Selain terjadi dalam lingkungan keluarga, pendidikan emosi bisa diupayakan di lingkungan sekolah. Sekolah harus menyertakan keterampilan emosional di dalam kurikulumnya, misalnya pelajaran untuk bekerja sama. Di Amerika, keterampilan emosional ini disebut “Self Science”.
Self Science adalah perintis gagasan yang saat ini (pada tahun 1996, yakni tahun penulisan buku Emotional Intellegence oleh Goleman) menyebar di sekolah-sekolah dari pantai timur sampai pantai barat Amerika Serikat. Nama dari pelajaran semacam ini beragam mulai dari social development (pengembangan sosial), life skill (keterampilan hidup), sampai social and emotional learning (pembelajaran sosial dan emosi). Benang merahnya adalah sasaran untuk meningkatkan kadar keterampilan emosional dan sosial pada anak sebagai bagian dari pendidikan reguler mereka.[29]





BAB III
KESIMPULAN


Berdasarkan pembahasan mengenai kecerdasan emosional di atas, maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Pengertian kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain.
2.      Teori mengenai kecerdasan emosional pertama kali dicetuskan oleh Salovey dan Mayer tahun 1990. Sebelumnya, istilah kecerdasan emosi berasal dari konsep kecerdasan sosial yang dikemukakan oleh Thorndike pada tahun 1920.
3.      Goleman menyatakan bahwa secara umum ciri-ciri seseorang memiliki kecerdasan emosi adalah mampu memotivasi diri sendiri, bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berfikir serta berempati dan berdoa.
4.      Faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosi seseorang yaitu secara fisik dan psikis. Secara fisik terletak di bagian otak yaitu konteks dan sistem limbic, secara psikis meliputi lingkungan keluarga dan lingkungan non keluarga.
5.      Pendidikan keterampilan emosional memiliki banyak manfaat bagi anak yang pada intinya meningkatkan prestasi dan membuat mereka hidup lebih baik.
6.      Proses melatih kecerdasan emosional pada anak biasanya terjadi dalam lima langkah, yaitu menyadari emosi anaknya, mengakui emosi itu sebagai peluang untuk kedekatan dan mengajar; mendengarkan dengan penuh empati dan meneguhkan perasaan anak tersebut; menolong anaknya menemukan kata-kata untuk memberi nama emosi yang sedang dialaminya; dan menentukan batas-batas sambil membantu anak memecahkan masalah yang dihadapi.





DAFTAR PUSTAKA

Aminah, Mimin. “Kecerdasan Emosional Membentuk Karakter Peserta Didik”. Tribun-Timur.com (online), 2012, (http://makassar.tribunnews.com, diakses tanggal 12 Desember 2013).
Anonim. “Kecerdasan Emosional Pengertian, Definisi, dan Unsur-unsurnya”. Dunia Psikologi (online), 2012, (http://www.duniapsikologi.com, diakses tanggal 9 Desember 2013).
Anonim. “Pengertian Kecerdasan Emosional Menurut Para Ahli Faktor”. Rumah Kemuning (online), 2012, (http://rumahkemuning.com, diakses tanggal 9 Desember 2013).
Anonim. “Pentingnya Kecerdasan Emosional”. Riau Pos.Co (online), 2013, (http://www.riaupos.co, diakses tanggal13 Desember 2013).
Goleman, Daniel. Kecerdasan Emosional. Terj. T. Hermaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996.
Gottman, John & Joan de Claire. Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosional. Terj. T. Harmaya. Jakarta: Gramedia, 1997.
Hendry. “Definisi Kecerdasan Emosional (EQ)”. Teori-Online (online), 2010, (http://teorionline.wordpress.com, diakses tanggal 14 desember 2013).
Mabruria, Arni. “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi”. Education for all (online), 2012, (http://arnimabruria.blogspot.com, diakses tanggal 13 Desember 2013).
Prawira, Purwa Atmaja, Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Baru. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012.
Saefullah, Uyoh.  Psikologi Perkembangan dan Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia, 2012.
Sunar P, Dwi. Edisi Lengkap Tes IQ, EQ, dan SQ. Jogjakarta: FlashBooks, 2010.


[1] Uyoh Saefullah, Psikologi Perkembangan dan Pendidikan (Bandung: Pustaka Setia, 2012), 166.
[2] Mimin Aminah, “Kecerdasan Emosional Membentuk Karakter Peserta Didik”, Tribun-Timur.com, http://makassar.tribunnews.com, 10 Desember 2012, diakses tanggal 12 Desember 2013.
[3] Anonim, “Pentingnya Kecerdasan Emosional”, Riau Pos.Co, http://www.riaupos.co, 18 Agustus 2013, diakses tanggal 13 Desember 2013.
[4] Saefullah, Psikologi Perkembangan., 166.
[5]Purwa Atmaja Prawira, Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Baru (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2012)., 159.
[6] Daniel Goleman, Kecerdasan Emosional, terj. T. Hermaya (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), 7.
[7] Dwi Sunar P., Edisi Lengkap Tes IQ, EQ, dan SQ (Jogjakarta: FlashBooks, 2010), 132.
[8] Uyoh Saefullah, Psikologi Perkembangan dan Pendidikan (Bandung: Pustaka Setia, 2012), 168.
[9] Anonim, “Pengertian Kecerdasan Emosional Menurut Para Ahli Faktor”, Rumah Kemuning.com, http://rumahkemuning.com, Mei 2012, diakses tanggal 9 Desember 2013.
[10]---------, “Pengertian Kecerdasan Emosional”, Rumah Kemuning.com, http://rumahkemuning.com, Desember 2012, diakses tanggal 9 Desember 2013.
[11] Anonim, “Kecerdasan Emosional Pengertian, Definisi, dan Unsur-unsurnya”, Dunia Psikologi, http://www.duniapsikologi.com, 27 September 2012, diakses tanggal 9 Desember 2013.
[12] Ibid.
[13] Sunar, Edisi Lengkap Tes IQ, EQ, dan SQ ., 129.
[14] Hendry, “Definisi Kecerdasan Emosional (EQ)”, Teori-Online, http://teorionline.wordpress.com, 26 Januari 2010, diakses tanggal 14 desember 2013.
[15] Sunar, Edisi Lengkap Tes IQ, EQ, dan SQ ., 132.
[16] Goleman, Kecerdasan Emosional.,57-58.
[17] Ibid., 137-138.
[18] Goleman, Kecerdasan Emosional., 45.
[19] Ibid., 58-59.
[20] Hendry, “Definisi Kecerdasan Emosional (EQ)”, Teori-Online, http://teorionline.wordpress.com, 26 Januari 2010, diakses tanggal 14 Desember 2013.
[21] Arni Mabruria, “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi”, Education for all, http://arnimabruria.blogspot.com, 14 Maret 2012, diakses tanggal 13 Desember 2013.
[22] Ibid.
[23] Goleman, Kecerdasan Emosional., 403-405.
[24] John Gottman dan Joan de Claire, Kiat-kiat Membesarkan Anak yang Memiliki Kecerdasan Emosional, terj. T. Harmaya (Jakarta: Gramedia, 1997), 73.
[25] Ibid.,94.
[26] Ibid., 95-96.
[27] Ibid., 101-102.
[28] Ibid., 103.
[29] Goleman, Kecerdasan Emosional., 372.

1 komentar:

  1. Assalamualaikum, saya mau tanya dong, buku Sunar P, Dwi. Edisi Lengkap Tes IQ, EQ, dan SQ. Jogjakarta: FlashBooks, 2010.
    masih punya kah?

    BalasHapus